Tugas Menganalisis Konflik Aceh Singkil dalam Perspektif Hukum Pidana Islam Melalui Pendekatan Metode Mashalihul Mursalah (Jinayat) (Muhamad Abdul Kholiq , S.H., M.Hum) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia By. Babibank
1. Kronologi
Kejadian bermula pada Senin (12/10). Hari itu terjalin
kesepakatan antara Pemerintah Daerah dengan masyarakat soal penertiban 21
gereja yang tidak berizin.Pemda akan menertibkan. Atas desakan masyarakat akan
dilakukan pembongkaran.Malamnya, ada pembicaraan lanjutan yang menyepakati
pembongkaran gereja akan dilakukan pada 19 Oktober 2015. Namun, perwakilan
masyarakat yang hadir di pembicaraan itu tidak diakui oleh kelompok perusuh.
Selasa (13/10) pagi,
sekitar pukul 8.00 WIB, warga berkumpul di Kecamatan Simpang Kanan. Dua jam
kemudian, kelompok tersebut bergerak ke Tugu Simpang Kanan.
Kemudian dihadang, ada pasukan TNI dan Polri,
sehingga mereka menuju ke rumah ibadah GHKI Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung
Meriah. Kapolri, kata Badrodin, telah
mengamankan 21 gereja yang dipermasalahkan. Namun, karena lokasi yang tersebar,
tiap gereja hanya dijaga 20 orang. Massa
yang datang mencapai 500 orang. Karena itu, pembakaran rumah ibadah pun tak
terhindarkan setelah massa bergerak pada 11.00 WIB.
Setelah membakar gereja
masa bergerak ke desa tadi (Sukamakmur). Di situ terjadi bentrok massa yang
telah membakar dengan yang menjaga. Dari situ terjadi korban,
Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI)
menyayangkan kekerasan ini. Pasalnya, sebelum kejadian sudah ada kesepakatan
antara Bupati Aceh Singkil, Muspida, Ulama dan sejumlah kelompok tentang
pembongkaran gereja.Dalam penilaian Henriette, kejadian itu juga tak tak lepas
dari sulitnya mendapat izin mendirikan bangunan (IMB) di tempat tersebut.
Terhitung, sejak tahun 1979, 2012 hingga sekarang, pihak gereja selalu ditolak
mendirikan bangunan.Bupati Aceh Singkil, Safriadi, menyatakan sebenarnya warga
sudah sepakat damai. "Ada perjanjian damai antara umat Kristen dan Islam
pada 1979 yang dikuatkan lagi di musyawarah tahun 2001," kata dia kepada
CNN Indonesia. Berdasarkan kesepakatan damai
itu, ujar Safriadi, di Aceh Singkil disetujui berdiri satu gereja dan empat
undung-undung. Tapi kini ternyata jumlah rumah ibadah telah lebih dari yang
disepakati. Menjamur menjadi 23 undung-undung. "Ini menyebabkan
gejolak," ujar Safriadi.Hal ini pula yang menjadi dasar unjuk rasa Pemuda
Peduli Islam (PPI) pada 6 Oktober di Kantor Bupati Aceh Singkil, di Kecamatan
Singkil. Menurut pengunjuk rasa, keberadaan gereja yang makin marak di Aceh
Singkil merupakan bentuk pelanggaran perjanjian pada 1979 dan 2001.Saat itulah
mereka mengancam akan membongkar sendiri gereja yang dinilali tak berizin
sepekan setelah aksi, atau pada 13 Oktober. Ancaman itu terbukti dengan insiden
yang telah terjadi.
2. Metode Ijtihad Mashalihul Mursalah
A. Pengertian Mashalihul Mursalah
Dalam kamus besar bahasa Indonesia disebutkan bahwa maslahah artinya sesuatu yang mendatangkan
kebaikan (kemaslahatan dan sebagainya), faedah, guna. Sedangkan kemaslahatan
berarti kegunaan, kebaikan, manfaat atau kepentingan.[1] Secara terminology,,
terdapat beberapa definisi maslahah yang di kemukakan ulama ushul fiqih,
tetapi seluruh definisi tersebut mengandung esensi yang sama. Imam Al-Ghazali, mengemukakan bahwa
prinsifnya maslahah adalah “mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam
rangka memelihara tujuan-tujuan syara”.
Dengan
melihat pengertian dari maslahah secara bahasa di atas maka maslahah merupakan
suatu perkara yang mampu mendatangkan kebaikan pada manusa. Artinya jika
manusia dapat mengambil manfaat atau keuntungan dari suatu benda, maka dapat
dikatakan bahwa benda itu mendatangkan maslahah pada orang yang menggunakannya,
atau orang yang bisa merasakan kegunaan dan memperoleh kebaikan dari benda
tersebut, dan begitu pula seterusnya.[2]
B. Dasar
Hukum Mashalihul Mursalah
Para ulama yang menjadikan mashlahat mursalah
sebagai salah satu dalil syara', menyatakan bahwa dasar hukum mashlahat
mursalah, ialah:
1. Persoalan yang dihadapi
manusia selalu tumbuh dan berkembang, demikian pula kepentingan dan keperluan
hidupnya. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak hal-hal atau persoalan yang tidak
terjadi pada masa Rasulullah SAW, kemudian timbul dan terjadi pada masa-masa
sesudahnya, bahkan ada yang terjadi tidak lama setelah Rasulullah SAW meninggal
dunia. Seandainya tidak ada dalil yang dapat memecahkan hal-hal yang demikian
berarti akan sempitlah kehidupan manusia. Dalil itu ialah dalil yang dapat
menetapkan mana yang merupakan kemaslahatan manusia dan mana yang tidak sesuai
dengan dasar-dasar umum dari agama Islam. Jika hal itu telah ada, maka dapat
direalisir kemaslahatan manusia pada setiap masa, keadaan dan tempat.
2. Sebenarnya para sahabat,
tabi'in, tabi'it tabi'in dan para ulama yang datang sesudahnya telah
melaksanakannya, sehingga mereka dapat segera menetapkan hukum sesuai dengan
kemaslahatan kaum muslimin pada masa itu. Khalifah Abu Bakar telah mengumpulkan
aI-Qur'an, Khalifah Umar telah menetapkan talak yang dijatuhkan tiga kali
sekaligus jatuh tiga, padahal pada masa Rasulullah SAW hanya jatuh satu,
Khalifah Utsman telah memerintahkan penulisan aI-Qur'an dalam satu mushaf dan
Khalifah Ali pun telah menghukum bakar hidup golongan Syi'ah Radidhah yang
memberontak, kemudian diikuti oleh para ulama yang datang sesudahnya.
C. Macam-macam Maslahat
Para ahli ushul fiqih mengemukakan beberapa
pembagian maslahah, jika di lihat dari beberapa segi. Di lihat dari segi
kualitas dan kepentingan maslahat itu para ahli ushul fiqih membaginya kepada
tiga macam yaitu :
1. Maslahah
al-Dharuriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok
manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu
memelihara agama,jiwa, akal, keturunan, dan memelihara harta. Kelima
kemaslahatan ini di sebut al-mashalil al-khamsah.
2. Mashlahah
al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan
kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk
mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar manusia. Misalnya dalam mu’amalah
di bolehkan melakukan jual beli pesanan.
3. Mashlahah
al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahtan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan
yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya di anjurkan memakan
makanan yang bergizi dan berpakaian yang bagus-bagus.
D.
Obyek mashlahat mursalah
Yang menjadi obyek mashlahat mursalah, ialah
kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada
satupun nash (al-Qur'an dan Hadits) yang dapat dijadikan dasarnya. Prinsip ini
disepakati oleh kebanyakan pengikut madzhab yang ada dalam fiqh, demikian
pernyataan Imam al-Qarafi ath-Thufi dalam kitabnya Mashalihul Mursalah
menerangkan bahwa mashlahat mursalah itu sebagai dasar untuk menetapkan hukum
dalam bidang mu'amalah dan semacamnya. Sedang dalam soal-soal ibadah adalah
Allah untuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan
lengkap hikmah ibadat itu. Oleh sebab itu hendaklah kaum muslimin beribadat
sesuai dengan ketentuan-Nya yang terdapat dalam al-Qur'an dan Hadits[3]
3.
Analisis
Hukum
a. Bagaimana hak seorang muslim yang membakar
gereja dengan niat untuk membela agamanya dari ancaman kristenisasi, apakah
bisa disebut pelaku jarimah/tindak pidana?
b. Apakah orang
kristen yang mendirikan gereja secara bebas dan tidak mentaati syarat/prinsip
pendirian rumah ibadah dapat disebutkan sebagai jarimaah penghinaan terhadap
islam?
Analisis:
A.
Aceh sebagai salah satu
provinsi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai arti penting
bagi keutuhan Indonesia. Aceh memiliki keistimewaan dalam bidang agama, selain
memang merupakan daerah pertama datangnya Islam di Indonesia, juga merupakan
salah satu pusat perkembangan peradaban Islam di Asia Tenggara dengan penduduk
mayoritas Islam, jumlah pemeluk Islam di Aceh dalah 4.356.624 atau 98,898 %.
Walaupun di Aceh telah diberlakukan Syariat Islam secara kaffah , menetap dan
menjalankan ibadah sesuai bukan berarti umat non Muslim tidak boleh dengan
agamanya, seperti Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghucu. Semua agama di
Aceh hidup berdampingan dalam misi Islam rahmatan lil’alamin[4]
(QS. AlAmbiya’: 107). Namun dalam berbagai wacana dan pemberitaan di media
massa, dengan pelaksanaan syariat ( Islam tersebut seakan umat non Muslim
menjadi tidak bebas dan kurang terlindungi dalam pelaksanaan agamanya di Aceh [5].
Untuk mengetahui
tentang kerukunan dan kebebasan beragama di Aceh dapat dilihat dari
interaksi antara Muslim dan non Muslim dapat dalam kehidupan sehari hari di
Kota Banda Aceh. Apabila kita amati, Kota Banda Aceh sangat berpotensi bagi
semua umat beragama yang menetap di Aceh, karena umat non muslim, baik Kristen,
Hindu, dan Buddha, mereka samasama mendapat peluang yang besar untuk bekerja
dan hidup di Aceh. Umat non Muslim hampir menguasai 50% dari perdagangan dan
usaha wiraswasta di Kota Banda Aceh. Dari sini nampak bahwa perb edaan agama
dan nominasi Islam sebagai mayoritas, dengan Syari’at Islam tidak membuat
mereka takut dan terhambat untuk terus maju dan berkiprah untuk memajukan
ekonomi Aceh dan Indonesia pada umumnya. Menjadi pemandangan biasa ketika kita
melihat orang-orang Islam berbelanja di tempat non Muslim, karyawan mereka
Muslim, mereka biasa bercengkrama dan minum kopi di warung-warung,
seolah tidak ada perbedaan antara mereka[6].
Melihat dari kenyataan demikian sebenarnya toleransi di Aceh antara Muslim dan
non Muslim sebenarnya berada dalam kondisi baik saja. Akan tetapi kasus
pembakaran gereja di daerah Aceh yaitu lebih tepatnya Kabupaten Aceh Singkil.
Dimana saya melihat permasalahan pada kasus ini sangat kompleks dimana apabila
pembakaran gereja ini berdalih untuk membela agama Islam dari ancaman
kristenisasi. Melihat kenyataan demikian, sangat sulit saya terima sebagai
seorang mahasiswa yang harus berfikir kritis untuk setiap permasalahan, dimana
menurut saya hal ini sangat bertentangan dengan pandangan Islam, bahwa semua
manusia adalah keturunan dari keluarga manusia. Semuanya mempunyai hak hidup
dan kehormatan, tanpa pengecualian dan diskriminasi[7].
Dalam hal ini saya tidak bisa menerima alasan mencegah kristenisasi dengan
melakukan tindakan represif berupa pembakaran gereja serta penganiyaan tersebut sebagai alasan pembenar.
Apabila berbicara
mengenai mayoritas dan minoritas saya sadar bahwa kedudukan Masyarakat Aceh
yang mayoritas beragama Islam memang harus dihormati oleh Non Muslim. Dimana pengaturan antara hubungan
Muslim dan Non Muslim dalam hal pelaksanaan syariat Islam di Aceh telah diatur
pada diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah (Perda/Qanun) Istimewa Aceh
nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Dalam Bab II, tujuan dan
Fungsi pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa: “ . Keberadaan agama lain di luar agama
Islam tetap diakui di daerah ini, pemeluknya dapat
menjalankan ajaran agamanya masing-masing diakui keberadaannya ”. Berdasarkan
Qanun tersebut, agama selain Islam keradaannya di Aceh, begitu juga para
pemeluknya dihormati dan dilindungi keberadaannya serta diberi kebebasan untuk
beribadah melaksanakan ajaran dan kewajiban agamanya. Berarti setiap umat
beragama lain (non Muslim) tetap diberikan kebebasan dalam beragama dan
menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing-masing. Sehingga umat non
muslim tidak merasa resah terhadap perlindungan beragama.[8]
Secara yuridis mengenai kedudukan
Muslim dan Non Muslim di Aceh telah jelas diatur dalam Qanun tersebut dimana
jelas tercantum pada Bab II, tujuan dan Fungsi, pasal 2 ayat 2[9].
Artinya disini ada jaminan dari pemerintah Aceh untuk menjamin perlindungan
masyarakat minoritas non Muslim. Saya sangat menyayangkan mengenai peristiwa
Aceh Singkil ini dimana dalam hal ini Pemerintah berati gagal dalam menjaga
kebebasan beragama di Aceh padahal pemerintah Aceh sudah jelas berkomitmen
untuk menjaga kebebasan beragama di Aceh dengan dibuktikan pembuatan Qanun
tersebut.
Akan tetapi saya
juga tidak bisa menyalahkan hanya pada satu sisi yaitu pemerintah, disini saya
juga ada melihat adanya kesalahan pemahaman paradigma mengenai keagamaan di
masyarakat Aceh Singkil. Dimana tindakan represif berupa pembakaran serta
penganiyaan seharusnya jangan sampai terjadi mengingat hal tersebut merupakan
perbuatan Jarimah/Pidana dan mereka adalah masyarakat Muslim yang secara
kodratnya sangat mencintai akan perdamaian. Menurut analisa saya masyarakat
Aceh Singkil kurang memahami mengenai makna toleransi beragama dimana apabila
saya kaitkan dari sisi sejarah makna toleransi sangat dijunjung tinggi oleh
Islam dengan dibuatnya Piagam Madinah.
Prinsip
kebebasan beragama sebagaimana termaktub dalam pasal 25 yang menegaskan bahwa
antara Yahudi dan mukmin sebagai warga negara Madinah tidak ada perbedaan.
Mereka bebas memeluk agama yang mereka yakini, bebas memeluk agama dan bebas
memilih keyakinan dan mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Kecuali
karena mereka zalim dan jahat. Kebebasan beragama adalah keniscayaan yang tidak
mungkin terhindarkan. Piagam Madinah dan meletakkan kebebasan
beragama, melaksanakan keyakinan dijamin oleh negara. Akan tetapi kebebasan itu
ada pada ketaraturan dan tidak boleh mencederai keyakinan warga negara lainnya. Piagam
itu telah memberi jaminan kebebasan beragama bagi orang-orang Yahudi sebagai
suatu komunitas dan mewujudkan kerja sama yang erat dengan kaum muslimin[10].
Jadi tidak ada alasan pembenar untuk melakukan pembakaran serta penyerangan
hingga memakan korban dengan mengatasnamakan membela agama Islam dari ancaman kristenisasi karena
menganiaya orang lain sangat di larang dalam Islam dan saya rasa untuk
penertiban rumah ibadah bukanlah kewajiban dari rakyat Aceh akan tetapi ini
merupakan wewenang dari Pemerintah Aceh dalam hal ini rakyat Aceh hanya
berwenang melaporkan kepada Pemerintah untuk segera ditindaklanjuti karena
dikhawatirkan apabila masyarakat yang turun tangan langsung berpotensi
terjadinya chaos. Saya rasa akan
lebih bijak apabila Langkah diplomasi dilakukan oleh Masyarkat Muslim
Singkil dibandingkan dengan melakukan
tindakan represif.
Mengenai perbuatan pembakaran gereja
dan penganiayaan hingga memakan korban yang terjadi di Aceh Singkil jelas
merupakan perbuatan jarimah walaupun dengan dalih membela agama, karena apabila
kita kaji dari Mashlahat Mursalah jelas kurang tepat
tindakan dari masyarakat Aceh Singkil tersebut yang lebih berpotensi
mendatangkan kemudharatan dibanding manfaat, karena prinsip Mashlahat Mursalah
yaitu semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti
untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia.
Dimana apabila tindakan pembakaran dan
penganiyaan tersebut dilegalkan karena berdalih mempertahankan kedudukan Islam
di Aceh serta tidak dianggap sebagai jarimah berpotensi membuat gejolak mengingat
permasalahan SARA sangat sensitif didalam kehidupan bernegara dan bisa memicu
perpecahan di Indonesia yang notabene bukan Negara Islam dan konstitusi pun telah
menjamin pada Pasal 28E Ayat (1) menjamin hak setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Pasal 28E Ayat (2)
menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Pasal 28E Ayat (3)
menjamin hak setiap orang atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat. Pasal 28I Ayat (2) secara tegas menyatakan bahwa “Setiap orang berhak
bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu”.
Jadi sikap masyarakat Aceh Singkil untuk menyerahkan
permasalahan rumah ibadah yang ilegal ini kepada Pemerintah Aceh yang lebih
berwenang untuk mengurus permasalahan tersebut saya rasa lebih bijak demi
menjaga persatuan bangsa Indonesia dan menjauhkan kemudharatan serta
mendatangkan manfaat.
B.
Persoalan
pembangunan rumah ibadah umat beragama sudah diatur dengan pasti, baik dalam
Surat Keputusan Bersama Dua Menteri tentang Rumah Ibadah, Peraturan Gubernur No
25/2007 tentang Izin Pendirian Rumah Ibadah di Aceh, maupun Qanun Aceh Singkil
Nomor 2/2007 tentang Pendirian Rumah Ibadah. Semestinya, Pemkab Aceh Singkil
melaksanakan ketentuan tersebut secara konsisten. Sudah ada kepastian hukum di
sana. Ketidakberanian dan keraguan hanya akan membuat kerukunan umat beragama
di Aceh, khususnya antara umat Islam dan Kristen di Aceh yang selama ini sudah
baik. Mengenai adanya pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) bagi umat
kristiani untuk beribadah apabila pembatasan pembangunan rumah ibadah
diberlakukan, Abdullah mengatakan, HAM dalam beragama sudah diatur dengan
hukum. Harusnya, semua pihak menaatinya.
Bahkan,
khusus di Aceh Singkil, sudah ada perjanjian damai dan kesepakatan antara umat
islam dan umat nasrani soal jumlah rumah ibadah di wilayah Aceh Singkil. Berdasarkan
perjanjian damai itu, di Aceh Singkil disetujui satu gereja dan empat
undung-undung, rumah peribadatan umat nasrani yang ukurannya lebih kecil.
Namun,
saat ini setidaknya sudah ada 10 gereja yang saat ini berdiri di Aceh Singkil.
Pemkab Aceh Singkil pun dianggap melakukan pembiaran terhadap proses
pembangunan rumah ibadah ini. Melihat dari kenyataan dilapangan bahwa non
Muslim di Aceh Singkil tidak mengikuti aturan mengenai pendirian rumah ibadah
saya rasa ini penghinaan terhadap Islam. Karena apabila saya kaitkan dengan
aspek yuridisnya bahwa pemerintah Aceh sebenarnya sudah mengatur mengenai
pendirian rumah Ibadah dalam aspek ini masyarakat non Muslim di Aceh Singkil
telah melanggar aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Aceh selaku yang
memegang wewenang. Dimana pada hakikatnya Hukum
merupakan peraturan-peraturan hidup didalam masyarakat yang dapat memaksa orang
supaya mentaati tata tertib dalam masyarakat serta memberikan sanksi yang tegas
(berupa hukuman) terhadap siapa yang tidak mau patuh mentaatinya.
Saya fokuskan pada makna hukum itu juga berisi nilai-nilai
yang hidup dimasyarakat, dimana pada hakikatnya masyarakat non Muslim telah
melanggar ketentuan Hukum yang dibuat pemerintah yang artinya telah melanggar
nilai-nilai masyarakat di Aceh. Dimana nilai-nilai masyarakat yang dominan di
Aceh merupakan nilai-nilai Islam. Artinya masyarakat non Muslim telah mencoreng
nilai-nilai Islam yang hidup di masyarakat Aceh selama ini. Dengan melanggar
aturan yang telah dibuat dan ini merupakan jarimah penghinaan terhadap Islam
karena melanggar hukum sama dengan menghina nilai-nilai masyarakat dalam hal
ini Islam.
Unsur Khusus untuk Jarimah penghinaan adalah :
1. Pelaku berakal
2. Sudah mencapai usia baligh
3. Motivasi kejahatan disengaja
4. Berniat untuk menghina korban[11]
Melihat dari unsur khusus Jarimah diatas saya melihat
permasalahan di Aceh Singkil sebagai penghinaan karena semua unsur Jarimah
penghinaan telah terpenuhi akan tetapi untuk poin 4 yaitu mengenai niat dalam
menghina korban dalam hal ini umat Islam saya rasa tidak secara explisit mereka
berniat menghina, akan tetapi dampak perbuatan mereka yang melanggar hukum yang
di buat pemerintah Aceh itu lah yang membuat umat Islam merasa terhina. Walaupun
kebebasan beragama di Aceh tetap diakui akan tetapi tidak bisa dengan seenaknya
non Muslim di Aceh melanggar peraturan tersebut, Karena pembuatan aturan
tersebut memang di lihat dari kondisi Aceh sendiri yang merupakan daerah
Istimewa dimana Qanun dan hukum Islam diterapkan secara penuh. Dan presentase
kedudukan Muslim di Aceh sangat besar dibandingkan Non Muslim, maka seharusnya
non Muslim harus menghargai mayoritas dan menghargai pula hukum yang telah
dibuatnya.
4. Kesimpulan
Perbuatan pembakaran
gereja dan penganiayaan hingga memakan korban yang terjadi di Aceh Singkil jelas
merupakan perbuatan jarimah walaupun dengan dalih membela agama, karena apabila
kita kaji dari Mashlahat Mursalah jelas kurang tepat
tindakan dari masyarakat Aceh Singkil tersebut yang lebih berpotensi
mendatangkan kemudharatan dibanding manfaat, karena prinsip Mashlahat Mursalah
yaitu semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti
untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudharatan dan kerusakan bagi manusia. Jadi sikap masyarakat Aceh Singkil untuk menyerahkan
permasalahan rumah ibadah yang ilegal ini kepada Pemerintah Aceh yang lebih
berwenang untuk mengurus permasalahan tersebut saya rasa lebih bijak demi
menjaga persatuan bangsa Indonesia dan menjauhkan kemudharatan serta
mendatangkan manfaat. Sedangkan untuk pelaku baik pembakar gereja,
penganiyayaan maupun pelanggar izin pembangunan gereja harus dihukum sesuai
dengan aturan yang berlaku. Dan bagi kaum minoritas non Muslim di Aceh pun ada
baiknya untuk taat pada aturan hukum yang di buat, karena sebagai bentuk
penghormatan terhadap masyarakat Muslim di Aceh, karena sesungguhnya Islam
mengjarkan prinsip kedamaian dan kerukunan antar umat beragama bukan
sebaliknya.
[1] Departemen
Pendidikan Nasional,. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. Ketiga (Jakarta:
Balai Pustaka, 2005) halaman. 720
[2] Chotimatul
Mustofa, "Pandangan Al-Shawkani terhadap Maslahah Mursalah", Skripsi
S1 Program Studi Ahwalus Syahsiyah, Stain Ponorogo, 2009, Hlm. 14
[3] Abatasa, Mashlahat Mursalah, http://pustaka.abatasa.co.id/pustaka/detail/ushul-fiqih/allsub/130/mashlahat-mursalah.html, diakses 28
Oktober 2015, jam 14.00 WIB.
[5] Amal, Taufik Adnan dan Samsu Rizal
anggabean. Politik Syariat Islam dari Indonesia hingga Negeria.(Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2004). Halaman. 17
[6] Marzuki Abu Bakar, "Syariat Islam
di Aceh: Sebuah Model Kerukunan dan Kebebasan Beragama", Dimuatdalam Jurnal MediaSyariah, UIN
Ar-Raniry Banda Aceh,Tahun 2011. Halaman. 159
[7] al-Muzani,
Ibrahim bin Muhammad al-Hamd.Hidup Rukun Seperti Rasulullah SAW (at-Ta’mul
ma’al Akharin).alih bahasa Muzakkir A. S. dkk, Cet. 1, Riyadh: Pusat dialog
Nasional Raja Abdul Aziz Ryadh, 2005). Halaman. 9
[8] Marzuki Abu Bakar, op. cit. halaman. 187
[9] Lihat. Qanun Propinsi Nangroe Aceh Darussalam Bab II Pasal
2 ayat 2, “Keberadaan agama lain di
luar agama Islam tetap diakui di daerah ini, pemeluknya dapat menjalankan ajaran
agamanya masing-masing diakui keberadaannya”
[10] Fazlur
Rahman, Islam, terjemahan Drs. Senoaji Saleh, (Jakarta: Bina Aksara, 1987) cet.
I, halaman. 12
[11] Sayid
Sabiq, Fikih Sunnah 10, Terj, h 75