Cakupan dan tata
hierarki peraturan perundang-undangan (Regeling)
di Indonesia:
1.
Peraturan Perundang-undangan zaman
Hindia Belanda.
i.
Peraturan-peraturan Umum (Algemenee Verordeningen), terdiri dari:
a) Wet
atau di Indonesia dikenal sebagai Undang-Undang.
Wet
sama
halnya dengan Undang-Undang yaitu dibuat oleh pihak legislatif Negara
berdasarkan kehendak rakyat bersama pihak eksekutif .
b) Algemenee Maatsregels van Bestuur
atau di Indonesia dikenal sebagai Peraturan Pemerintah. Sama halnya dengan di
Indoensia saat ini, Algemenee Maatsregels
van Bestuur atau yang sama kita sebut Peraturan Pemerintah dibuat oleh
pihak eksekutif saja tanpa diintervensi oleh pihak legislatif.
ii.
Peraturan Lokal (Locale Verordeningen), terdiri dari:
a) Ordonantie
adalah bentuk peraturan perundang-undangan tertinggi yang dikeluarkan
pemerintahan Hinda Belanda yang dibuat oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda
bersama Volksraad.[1] Di
Indonesia sama dengan Perda yang dikeluarkan oleh provinsi.
b) Regelings Verordenings (Rv),
adalah jenis peraturan perundang-undangan yan dibuat Gubernur Jenderal Hindia
Belanda tanpa Volksraad.
2.
Peraturan Perundang-Undangan berdasarkan
UUD Tahun 1945:
1. Undang-Undang,
2. Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang,
3. Peraturan
Pemerintah.
3.
Peraturan Perundang-undangan berdasarkan
Tap MPRS No. XX Tahun 1966:
1. Undang-Undang
Dasar,
2. Ketetapan
MPR,
3. UU/PERPU,
4. Peraturan
Pemerintah,
5. Keputusan
Pemerintah,
6. Peraturan
Pelaksanaan lainnya.
4.
Peraturan Perundang-undangan berdsarkan
Ketetapan MPR No. III/MPR/2000, terdiri dari:
1. UUD
1945,
2. TAP
MPRI,
3. UU,
4. PERPU,
5. Peraturan
Pemerintah,
6. Keputusan
Presiden,
7. Peraturan
Daerah.
5.
Peraturan Perundang-undangan berdasarkan
UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdiri
atas:
1. UUD
RI Tahun 1945,
2. UU/PERPU,
3. Peraturan
Pemerintah,
4. Peraturan
Presiden,
5. Peraturan
Daerah
i.
Peraturan Daerah Provinsi,
ii.
Peraturan Daerah Kabupaten/kota.
6. Peraturan
Desa.
6.
Peraturan Perundang-undangan berdasarkan
UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terdiri
dari:
1. UUD
NRI Tahun 1945,
2. TAP
MPR,
3. UU/PERPU,
4. Peraturan
Pemerintah,
5. Peraturan
Presiden,
6. Peraturan
Daerah Provinsi,
7. Perathuran
Daera Kabupaten/Kota.[2]
Analisis
Persamaan dan Perbedaan Tata Urut Hierarki Peraturan Perundang-undangan.
Ajaran
tentang Stufenbau Theory [3]dari
Hans Kelsen, peraturan hukum keseluruhannya diturunkan dari norma dasar yang
berada di puncak piramida, dan semakin ke bawah semakin beragam dan menyebar.
Norma dasar teratas adalah abstrak dan makin ke bawah semakin konkret. Dalam
proses itu, apa yang semula berupa sesuatu yang ”seharusnya” berubah menjadi
sesuatu yang “dapat”dilakukan. [4]
Dari
paparan di atas, penulis mengaitkan teori yang dikemukakan oleh Hans Kelsen
yaitu teori hierarki peraturan perundang-undangan atau bias disebut
tingkatan/derajar/level dari peraturan perundang-undangan menjadi landasan
dalam perbandingan hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Sebagaimana
dalam teori lainnya, Hans Kelsen, Mengemukakan Groundnorm Theory, yang merupakan induk yang melahirkan peraturan-peraturan
hukum dalam suatu tatanan system hukum tertentu. [5]Yang
pada akhirnya memberikan suatu pola
yaitu peraturan perundang-undangan yang lahir menjadi sebuah regel tidak boleh bertentangan dengan
hukum di atasnya atau groundnorm.
Analisis
Persamaan
Dari
keseluruhan tata urut dan hierarki perauran perundang-undangan di Indonesia
yang pernah berlaku, secara konseptual adalah sama. Akan penulis paparkan
sebagai berikut:
1.
Zaman Hindia Belanda hingga Pasca Hindia
Belanda.
1) Pertama,
pada zaman Hindia Belanda dikenal Algemenee
Verordeningen dan Local Verordeningen
dengan hierarkinya Algemenee
Verordeningen lebih superior daripada Local
Verordeningen. Jika dikomparasikan dengan peraturan perundang-undangan
pasca pemberlakuan peraturan perundang-undangan pada zaman Hindia Belanda, maka
tata urutnya secara umum dan luas, adalah sama. Yaitu adanya pemberlakuan
Undang-Undang/Wet yang superior
daripada peraturan di bawahnya.
2) Kedua, dari
sisi ruang lingkup atau wilayah yang mengeluarkan peraturan, maka pada zaman
Hindia Belanda dan pasca zaman tersebut adalah sama. Karena Algemenee Verordeningen adalah
serangkaian peraturan-peraturan yang dibuat oleh pihak pemerintah pusat. Maka,
sesuai dengan apa yang berlaku di Indonesia pasca zaman Hindia Belanda. Yaitu
adanya peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh pemerintah pusat dan ada
peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh perpanjangan tangan dari
pemerintah pusat atau yang biasa disebut pemerintahan daerah atau yang pada
zaman Hindia Belanda disebut dengan local
Verordeningen.
3) Ketiga, dari
sisi pihak yang berwenang membuat peraturan tersebut juga terdapat kesamaan. Algemenee Verordeningen yang mengatur di
daerah pusat, dibuat oleh pihak legislatif bersama eksekutif dan ada juga yang
pihak eksekutif saja yang membuat tanpa campur tangan piak legislatif. Hal ini
kerolasi dengan apa yang diterapkan di Indonesia pasca Hindia Belanda. Begitu
juga pada peraturan local, pada kedua zaman ini adalah s\ama pihak yang
berwenang dalam membuatnya. Hanya berbeda dalam istilah lembaga pembuatnya
saja.
2.
Zaman Pasca Hindia Belanda hingga
Sekarang.
1) Pertama,
setiap ada perubahan tata urut atau hierarki peraturan perundang-undangan,
selalu diatur di dalam salah satu peraturan perundang-undangan itu sendiri.
Sebagaimana pada awalnya hierarki peraturan perundang-undangan di atur di dalam
UUD 1945, lalu di dalam TAP MPRS, lalu di dalam TAP MPR, dan di dalam
Undang-Undang. Hal ini korelasi dengan konsep nagara hukum modern yang
dikembangkan oleh Immanuel Kant yaitu konsep “rechtstaat” pada Eropa Kontinental yang salah satu unsurnya adalah
Pemerintahan dijalankan berdasarkan Undang-Undang.[6]
Yang artinya, harus ada dasar hukum dalam menjalankan pemerintahan yang baik.
Itulah kenapa tentang hierarki peraturan perundang-undangan sealu diatur dalam
aturan tertulis di Indoensia.
2) Kedua, dari segi materi, secara substansial dan
konseptual, setiap perubahan tata urut peraturan perundang-undangan, selalu
tetap, dikarenakan sumber hukum yang ada pada struktur hierarki peraturan
perundang-undangan tersebut merupakan suatu hal yang rigid dan memiliki tingkat urgensitas yang tinggi. Sehingga sangat
sulit apabila dihilangkan ataupun dibedakan dalam struktur hierarki peraturan
perundang-undangan. Dan apabila dihilangkan akan berpotensi membuat chaos disistem hierarki peraturan
perundang-undangan yang ada.
3) Ketiga, dari
segi daya ikat peraturan baik yang dicantukan di dalam hierarki peraturan
perundang-undangan maupun tidak adalah sama. Sama halnya dengan sifat hukum
secara umum yaitu aanvullend dan dwingend[7].
Selain peraturan perundang-undangan yang di sebutkan dalam hierarkinya, sifat
mengatur dan memaksa dari hukum itu juga berlaku untuk peraturan peraturan yang
dikeluarkan oleh MPR,DPR,DPD,MA,MK,BPK,BI,Menteri,[8]
dan alat-alat kenegaraan lainnya.
Analisis
Perbedaan Tata Urut Peraturan Perundang-Undangan.
1.
Undang-Undang Dasar 1945
Sesuai
dengan kosep “groundnorm”yang
dikemukakan oleh Hans Kelsen, maka terdapat perbedaan norma dasar pada
penerapana peraturan perundang-undangan zaman Hindia Benda dan pasca zaman
tersebut. Terlihat jelas bahwa, pada zaman Hindia Belanda saat ini beum ada
dibuatnya UUD 1945 sehingga tidak menutup kemungkinan bahwa UUD 1945 tidak
dicantumkan ke dalam hierarti peraturan perundang-undangannya. Namun, pasca
kemerdekaan Indonesia, dibuatlah UUD 1945 sebagai norma dasar dan konstitusi
bagi Indonesia, yang menjadikan UUD sebagai norma tertinggi dari
peraturan-peraturan yang beraku di Indonesia.
Sebagai
reasoning, hilangnya UUD 1945 di
dalam hierarki pada awal era kemerdekaan, disebabkan karena UUD 1945 tidak
berlaku dan terjadinya kekosongan hukum sementara pada saat itu. Sehingga UUD
1945 tidak dapat dicantumkan di dalam hierarki peraturan perundang-undangan. Dan
UUD 1945 kembali berlaku setelah dikeluarkannya Dektri Presiden 5 Juli 1959.
2.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Pada
awalnya, TAP MPR tidak masuk ke dalam hierarti peraturan perundangan
dikarenakan memang pada masa Hindia Belanda belum ada organ Negara yang bernama
MPR. Adapun MPR, dibentuk pasca kemerdekaan. Sehingga, pada zaman Hindia
Belanda TAP MPR belum ada dan dimasukkan ke dalam hierarki pada era pasca
DEKRIT. Karena pada saat itu barulah dibentuk lembaga MPRS sebagai cikal bakal
dari MPR. Sebab dimasukkannya TAP MPR di dalam hierarki dikarenakan PR
merupakan lembaga tertinggi Negara yang memegang peranan penting di dalam
sistem pemerintahan. Lalu, TAP MR sempat dihapuskan pada susunan hierarki
peraturan perundangan menurut UU.No. 10 Tahun 2004. Disebabkan, pasca amandemen
UUD tahap IV, MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi Negara. Dan juga pada
aspek judicial review, TAP MPR tidak
ada lembaga yang berwenang untuk melakukan pengujian materinya. Namun, menjadi
lembaga tinggi Negara yang setara dengan lembaga tinggi Negara lainnya. Tetapi,
walaupun TAP MPR sempat dihapus, tetap memiliki kekuatan mengikat yang sama.
Pada
tahun 2000, alasan kenapa TAP MPR masih dicantumkan di dalam hierarki
menandakan bahwa kekuatan politik pada masa itu masih dipegang oleh MPR sebagai
pusat peraturan yang lebih tinggi dari pada UU dan PERPU.
TAP
MPR dimasukkan kembali ke dalam hierarki peraturan Perundang-undangan
berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 dikarenakan, bentuk penegasan bahwa produk
hukum yang dibuat berdasarkan TAP MPR masih diakui dan berlaku secara sah.
3.
Undang-undang
Secara
garis besar tidak ada perbedaan. Hanya pengistilahan nama saja yaitu pada zaman
Hindia Belanda disebut Wet.
4.
Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang.
Terdapat
perbedaan TAP MPRS/XX/1966, TAP MPR No. 10/MPR/2000, dan UU No.10 Tahun 2004.
Yaitu pada penempatan Perpu yang awalnya setara dengan Undang-Undang lau
diturunkan ke bawah Undang-Undang, lalu di buat sejajar kembali dengan
Undang-Undang. Diturunkannya Perpu ke bawah Undang-Undang dikarenakan beberapa
alasan yaitu, karena untuk dikatakan sejajar memerlukan beberapa prosedur.
Yaitu dengan diberikannya persetujuan dari DPR. Sehingga, memerlukan
persetujuan DPR terlebih dahulu sebelum diberlakukannya dan dicantumkan ke
dalam lembaran Negara[9].
Sehingga secara fleksibilitas berlakunya Perpu lebih memerlukan proses yang
rumit sebelum diberlakukannya. Sedangkan alasan disetarakannya UU dan Perpu
secara materi dan fungsi Perpu dan UU memiliki kesamaan karena pada akhirnya
apabila Perpu disetujui maka akan menjadi UU juga.[10]
5.
Peraturan Pemerintah
Secara
garis besar tidak ada perbedaan.
6.
Peraturan Presiden
Pada
awalnya Peraturan Presiden merupakan Keputusan Presiden. Bedanya keputusan dan
peraturan, keputusan (beschikking)
selalu bersifat individual dan konkrit, dan pengujiannya melalui gugatan di
peradilan. Sedangkan peraturan (regeling)
selalu bersifat general dan abstrak, serta pengujian untuk peraturan dibawah
undang-undang (judicial review) ke
Mahkamah Agung. Untuk undang-undang diuji ke Mahkamah Konstitusi.
7.
Peraturan Daerah
Pada
awalnya diatur dalam UU No.10 Tahun 2010, Peraturan Daerah terdiri dari 3
sub-bagian. Yaitu Perda terdiri dari Perda Provinsi, Perda Kabupaten, dan Perda
Desa. Sedangkan pada UU No. 12 Tahun 2011 Perda dipisahkan menjadi Perda
Provinsi dan Perda Kabupaten/Kota.
8.
Peraturan Desa.
Peraturan
Desa yang pada awalnya sempat dicantumkan di dalam hierarki peraturan
perundang-undangan, namun pada UU No. 12
Tahun 11 dihilangkan dan dimasukkan ke dalam peraturan pelaksanaan lainnya.
Akan tetapi, daya ikat dari Peraturan Desa sendiri sama dengan
peraturan-peraturan yang tercantum dalam hierarki peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
[1] Volkstraad adalah Dewan Rakyat pada zaman Hindia Belanda menjajah
Indonesia. Volkstraad saat ini
samahalnya dengan Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia.
[2] Lihat, S. F. Marbun, Hukum Administrasi Negara I, Yogyakarta,
FH UII Press, 2012. Hal. 39-49.
[3] Terkait Stufenbau Theory sendiri, beberapa penulis berpendapat bahwa teori
hierarki norma ini dipengaruhi oleh
teori Adolf Merkl,atau paling tidak Merkl telah menulis tentang teori hierarti
norma terlebih dahulu yang diseut Jeliae dengan stairwell structure of legal order. Teori Merkl ini adalah tentang
tahapan hukum yaitu bahwa hukum adalah suatu aturan system hierarkis, satuan
system norma yang mengondisikan dan dikondisikan dan tindakan hukum. Norma yang
menghirarkis ini termanifstasi dalam bentuk regresi dari system tata hukum yang
lebih tinggi ke sistek tata hukum yang lebih rendah. Proses ini selalu
merupakan proses kokretisasi dan individualisasi.
[4] Lihat, Teguh Prasetya, Abdul
Halim Barkatullah, Ilmu Hukum &
Filsafat Hukum, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2011, hal. 109-110.
[5] Ibid… hal. 109.
[6] Lihat, Makalah dari Jimly
Asshiddqie, Gagasan Negara Hukum
Indonesia, hal. 3.
[7] Aanvullend dan dwingend adalah
sifat dari hukum. Yang artinya mengatur dan memaksa. Sebagaimana pada teori
antrologis, yang mengatakan bahwasannya hukum adalah sebagai pranata social, maka sifat hukum adalah
mengatur. Sedangkan Mallinowski mengakatan bahwa hukum adalah pemunculan hak
dan kewajiban dari satu orang terhadap orang lain, maka ada unsur memaksa (dwingend) dari hukum itu sendiri.
[8] Lihat, S. F. Marbun, Hukum Administrasi Negara I, Yogyakarta,
FH UII Press, 2012. Hal. 41.
[9] Lihat, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya
, Jakarta: Kanisius, 2007, hal. 102.
0 comments:
Post a Comment